MAKALAH KONFLIK MALUKU 1999-2002
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas
Mata Kuliah
Ilmu Sosial Dasar
DISUSUN
OLEH
NAMA : INAYAH NOVELIA
RIZKI
NPM : 13315328
KELAS : 1TA03
Dosen
Pak Emilianshah Banowo
JURUSAN TEKNIK
SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh
kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini
disusun agar pembaca dapat mengetahui konflik
di daerah Maluku dari berbagai sumber. Makalah ini di
susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini
memuat tentang, “konflik Maluku 1999-2002’’
dan sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu
mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia pendidikan.
Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen
yang telah banyak membantu penyusun agar dapat
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah
ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya. Terima kasih.
Depok, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………i
DAFTAR
ISI ……………………………………………...…….ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang…………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah……………………………....…2
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………..2
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Latar
Belakang Terjadimya Konflik………...........3
2.1.1 Kronologi konflik………………………..5
2.1.2 Tahapan dimulai Konflik………………...5
2.1.3 Upaya Pencapaian Pendamaian………….7
2.2 Perjanjian Damai Maluku
Malino………………..8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………...….…14
3.2 Saran…………………………………..……...….14
DAFTAR
PUSAKA………………..………………….……….15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negeri Maluku merupakan daerah dengan penduduk yang
heterogen. Daerah Maluku merupakan daerah yang sejak lama dicari-cari oleh
bangsa-bangsa Eropa karena daerah ini merupakan daerah yang kaya rempah-rempah
seperti cengkih dan pala. Kedatangan bangsa Eropa menyebabkan bangsa
Maluku sejak saat itu telah membangun hubungan dengan bangsa-bangsa lain
yang memiliki peradaban yang berbeda. Sehingga mereka memiliki keunggulan
tertentu yaitu nilai budaya cinta damai dalam bentuk pela, gandong,
duan lolat (nama lambang perdamaian). Namun karena adanya kebijakan
pemerintahan kolonial yang menjadikan Maluku tersegregasi baik secara politik
maupun sosio keagamaan (Islam dan Kristen) menyebabkan terjadinya suatu konflik
antar masyarakat Maluku (kaum Islam dan kaum Kristen). Akibat dari segresi
tersebut masih berlangsung dan menguat pada masa setelah rezim Orde Baru.
Sehingga baik dari elite politik maupun elite agama tidak mampu meyatukan
masyarakat dan membuat konflik yang ada di Maluku menjadi konflik yang
berkepanjangan.
Setelah peristiwa Reformasi yang menyebabkan
terjadinya kekacauan dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia
pada umumnya, dan negara dalam posisi lemah. Hal ini memberi kesempatan
kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksinya seperti yang terjadi di
Maluku oleh kaum Kristen Maluku untuk melampiaskan dendamnya kepada kaum Islam
Maluku selama Orde Baru yang mendapat keistimewaan oleh pemerintah.
Konflik di Maluku pada tahun 1999, menurut
sebagaian orang merupakan konflik keagamaan antara Islam dan Kristen. Konflik
tersebut merupakan rantai panjang dari adanya ketidakadilan dan marjinalisasi
masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial maupun republik.
Konflik di Maluku ini sangat menarik untuk
dipelajari karena didalamnya terjadi berbagai hal yang menyebabkan terjadinya
konflik tersebut yaitu bukan hanya karena agama, tetapi juga karena
perpolitikan, birokrasi, perekonomian yang menyebabkan kecemburuan sosial dan
pada perkembangannya menyeret agama sehingga menimbulkan konflik besar yang
berkepanjangan. Konflik di Maluku pada tahun 1999 telah menyebabkan banyak
penderitaa bagi masyarakat Maluku sendiri serta hal ini tetu juga bisa
mengancam kedaualatan bangsa Indonesia apabila terjadi disintegrasi bangsa.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi latar belakang
konflik di Maluku pada tahun 1999?
2. Bagaimana kronologi konflik
Maluku?
3. Bagaimana upaya-upaya yang
ditempuh dalam mencapai perdamaian konflik Maluku?
4. Bagaimana dampak yang ditimbulkan
dari adanya konflik Maluku tahun 1999?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
latar belakang terjadinya konflik di Maluku.
2. Mengetahui
kronologi konflik Maluku.
3. Mengetahui
upaya-upaya mencapai perdamaian konflik Maluku.
4. Mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari konflik Maluku.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Terjadinya Konflik Di Maluku
Konflik keagamaan yang terjadi di Maluku pada tahun
1999 sebenarnya bukanlah suatu peristiwa muthakir. Konflik tersebut merupakan
rantai panjang dari adanya ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat
kebijakan pemerintah baik kolonial maupun republik. Pada masa pemerintahan
Belanda terjadi praktik misionarisai Kristen Protestan kepada warga lokal. Hal
ini merupakan upaya Belanda untuk mengurangi pengaruh Islam Ternate yang masih
kuat di Maluku. Keadaan ini kemudian menjadikan Maluku menjadi
tersegregasi baik secara politik maupun sosio keagamaan dimana Maluku utara
yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Islam Ternate sedangkan Maluku
selatan yang berada dalam pengaruh misionarisasi Kristen Belanda.
Selain karena agama yang menjadi sumber konflik,
pada masa kolonial banyak mengangkat warga Maluku Kristen untuk menjadi
birokrat maupun militer karena Belanda menganggap mereka mau bekerja sama
dengan pemerintah kolonial. Mereka pun juga disekolahkan oleh pemerintah
sehingga mereka menjadi kaum terdidik dibandingkan kaum Islam Maluku yang tidak
mau bekerja sama dengan pemerintah karena Belanda dianggap sebagai kafir.
Kondisi keistimewaan kaum Kristen Maluku tersebut
kemudian berubah ketika bangsa Indonesia telah merdeka. Kaum Kristen kemudian
dicap sebagai separatis oleh pemerintah pusat karena banyak diantara mereka
yang tergabung dalam RMS. Hal inilah yang kemudian menguntungkan bagi kaum
Islam Maluku yang selama pemerintahan kolonial terdeskriminasi dan
termarjinalkan kemudian bisa menguasai birokrasi yang dulu dikuasai oleh kaum
Kristen.
Selain adanya islamisasi dalam birokrat, kaum
Kristen Maluku juga mengahadapi serangan pendatang baru yaitu pedagang dari
Buton, Bugis, dan Makassar yang menguasai perdagangan antar pulau di Maluku.
Maka karena merasa terhimpit oleh islamisasi baik dalam birokrasi maupun
ekonomi kemudian pecahlah Konflik Maluku pada tahun 1999 sebagai pelampiasan
kaum Kristen Maluku terhadap kaum Islam baik kaum Islam Maluku asli maupun
pendatang.
Sebagaian orang berpendapat bahwa agama sebagai
penyebab timbulnya konflik Maluku, akan tetapi kini bermunculan beberapa studi
mengenai sebab musabab terjadinya konflik Maluku sejak Januari 1999 antara lain
sebagai berikut:
1. Menurut
studi-studi dari Dr. Tamrin Amal Tomagola:
Dengan pendekatan sosiologis yang bertolak dari
“negara” dengan tekanan pada sebab musabab situasional. Ia menyebutkan bahwa
kerusuhan yang terjadi di Kao dan Malifut adalah sebagai akibat dari pemerintah
pusat untuk membentuk sebuah kecamatan baru di Teluk Kao (Halmahera Utara)
dengan nama Malifut yang nantinya akan menguntungkan para Migran Islam
(dipindahkan ke Kao sejak awal 1970-an) tetapi hal ini ditentang oleh warga Kao
yang Kristen yang telah hidup berabad-abad di wilayah itu. Pada tanggal 18
Agustus 1999 terjadi kerusuhan yang menyebabkan kegagalan pembentukan kecamatan
tersebut. Dalam konflik tersebut menyebabkan orang-orang migran tersebut
terpaksa mengungsi ke Ternate dan Tidore, lalu mereka memanaskan situasi di
kedua tempat tersebut sehingga terjadi kekerasan terhadap orang Kristen yang
lalu terpaksa mengungsi ke Minahasa.
Kemudian menurut Tomagola, perubahan dalam pimpinan
ABRI juga sebagai faktor penting dalam komponen negara. Naiknya Faizal Tanjung
memunculkan diktonomi dalam tubuh TNI-AD anatara apa yang dinamakan “TNI Hijau”
dan “TNI Merah Putih” yang menjadi masalah penting dalam perpolitikan di
Jakarta. Selain itu ia juga melihat munculnya ICMI pada tahun 1992 sebagai
kekuatan tandingan dari kalangan sipil sebagai unsur yang perlu dipertimbangkan
pula. Perubahan-perubahan pada tingkat pusat tersebut perlu dipertimbangkan
pula. Perubahan-perubahan tersebut ternyata juga berpengaruh di Maluku Utara,
seperti dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara.
2. Studi dari
Dr. G. Vanklinken
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang
bertolak dari “masyarakat” ia menunjukkan bahwa kerusuhan yang terjadi di
Maluku tidak bertolak dari primordialisme ala Durkheim tetapi kerusuhan
tersebut bersifat instrumentalis. Konsep kunci yang digunakan oleh Klinken
adalah clientelism (patron klien) bahwa elite-elite lokal di
Maluku korup dan saling memperebutkan kedudukan dalam birokrasi dan
proyek-proyek pembangunan, dan menarik pengikut dalam masyarakat dengan membagi
rejeki-rejekinya itu sehingga sistem patron client menjadi penghubung antara
negara dan masyarakat. Melalui sistem patron client itu pula elite Islam dan
elite Kristen di Maluku dapat memobilisasi lapisan masyarakat bawah untuk
saling membunuh demi keuntungan dan kedudukan pihak-pihak elite itu.
Kerusuhan di Maluku menurut Van Klinken disebabkan
persaingan politik yang memang ada kaitannya dengan clientalism. Seperti yang
terjadi di pemilu 1997 di Maluku. Hasil perhitungan suara menunjukkan bahwa
PDIP cabang Ambon menang mutlak dan menggeser partai-partai Islam. PDIP Ambon
sesungguhnya adalah unsur Parkindo dalam PNI maka kemenangan itu diartikan
sebagai kemenangan elite Kristen. Lalu untuk wakil-wakil MPR dan DPR juga
dipilih hanya dari orang Kristen. Kemenangan PDIP Ambon tersebut dianggap oleh
elite Islam sebagai ancaman kedudukan mereka di birokrasi.
2.1.1 Kronologi Konflik Maluku
Kronologi konflik di Maluku dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan. Tahapan pertama mulai tanggal 19 Januari 1999, kedua sejak 24
Juli 1999 dan tahapan ke tiga sejak 26 Desember 1999, mungkin juga kedatangan
laskar jihad pada Mei 2000 dapat dijadikan sebagai tahapan keempat.
2.1.2 Tahapan dimulai konflik
Pada tanggal 19 Januari 1999 terjadi suatu
pertikaian antara seorang supir angkot dengan seorang preman di terminal bis
Batumerah. Kerusuhan tersebut segera cepat meluas menjadi konflik antar orang
Islam dan orang Kristen yang ada di wilayah Batumerah dan Galunggung.
Keesokkan harinya terjadi kebakaran di berbagai
sudut kota Ambon. Gereja Maranatha sebagai pusat pemuda Kristen berikat kepala
merah sedangkan Masjid Al Fatah sebagai pusat pemuda Islam berikat kepala
putih. Dalam peristiwa ini orang dagang (Bugis, Buton dan Makassar) yang paling
menderita karena tempat usaha mereka di pasar di rusak dan bakar. Sejak saat
itu konflik senjata terus berlangsung siang malam. Pada tanggal 14 Februari
terjadi serangan oleh orang Islam di Pulau Haruku terhadap orang Kristen di
pulau itu juga.
Keadaan semakin memanas pada bulan Maret 1999. Pada
1 Maret terjadi insiden di Masjid Ahuru dimana beberapa anggota Polri dituduk
melakukan pembunuhan terhadap orang islam yang sedang sholat. Walaupun hal ini
tidak benar tetapi berita tentang hal tersebut sudah terdengar di Jakarta yang
mengakibatkan adanya demonstrasi oleh umat Islam.
Kemuadian pada tanggal 31 Maret 1999 kerusuhan yang
terjadi semakin meluas ke Tual (kepulauan Kei) dan pada tanggal 19-20 April
konflik juga meluas ke kepulauan Banda. Tanggal 20 Juni terjadi juga di Waab,
Kei Kecil. Lalu pada tanggal 15 Juli terjadi konflik antara negeri Kristen Ulat
dengan negeri Islam Sirisori di Pulau Saparua.
Tahapan kedua
dimulai pada 24 Juli 1999 Konflik kedua ini bermula dari kerusuhan yang terjadi
di daerah Poka Kotamadya Ambon yang selanjutnya menjalar ke kota Ambon. Pada
hari pertama terjadi pembakaran diseluruh pusat ekonomi milik Cina sehingga
mereka mengungsi dari Ambon. Pada tahapan kedua ini mereka sudah menggunakan
senjata api rakitan.
Pada Agustus 1999 sejumlah aparat keamanan
menyerang dan membakar gereja Galala bersama umat yang ada didalamnya. Lalu
pada tanggal 18 dan 19 Agustus beberapa daerah Islam menyerang daerah Kristen
Piru dan berulang lagi pada 2 Desember. Konflik antar aparat kembali lagi pada
3 Oktober di Batumerah. Konflik besar-besaran terjadi di Ambon antara 26 sampai
30 Oktober 1999.
Konflik Periode kedua juga terjadi pada saat pemilu
tahun 1999 yang pada waktu itu dimenangkan oleh PDIP. Partai tersebut memiliki
kedekatan dengan pemilik yang notabene beragama Kristen karena merupakan
gabungan dari Parkindo, PNI dan Partai Nasionalis lainnya yang memiliki basis
kuat di Maluku. Kemenangan PDIP tersebut disambut baik oleh komunitas Kristen
dan mereka berharap bisa memperoleh kembali kursi di birokrasi melalui PDIP.
Kekalahan Golkar maupun partai Islam lainnya yang pada umumnya didukung oleh
komunitas Islam telah memunculkan kembali bibit-bibit konflik di
Maluku. Ironisnya justru konflik Maluku yang semula hanya bentrokan dua
negeri kini telah memperlihatkan keterlibatan aparat keamanan sebagai aktor
lain dalam kerusuhan agama tersebut. TNI yang dekat Golkar sebagai partai
pemerintah dianggap lebih memihak Islam, sementara polisi dekat dengan Kristen
dengan keadaan seperti ini sudah pasti aparat keamanan tidak bisa melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Tahapan ketiga dimulai pada tanggal 26 Desember
1999. Konflik ketiga ini berawal ketika terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah
baik kaum Kristen maupun Islam yaitu gereja Silo dan Masjid An-Nur. Peristiwa
ini memicu konflik di luar kota Ambon yaitu di Masohi, Seram.
Dalam konflik ketiga ini para perusuh sudah
menggunakan senjata organic milik aparat keamanan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan
jika ada pihak luar Indonesia yang membantu konflik dalam hal persenjataan.
Meluasnya konflik tersebut menyebabkan adanya Kasus
ABRI, Letjen Marasabessymenurunkan tidak kurang dari 18 batalyon untuk
mengamankan Maluku Tengah dan Maluku Utara pada bulan Maret. Pada saat itu,
setiap hari diadakan razia senjata, memperlakukan jam malam dan perintah tembak
di tempat dikeluarkan. TNI AL juga tidak ketinggalan dengan mengerahkan 9 kapal
perang dan 5 kapal pengintai untuk mengadakan patroli di perairan Maluku Utara
dan Maluku Tengah.
Tahapan keempat yaitu dimulai dengan masuknya
Laskar Jihad. Periode keempat konflik anarkisme agama di Maluku yaitu adanya
aktor luar Maluku yang ikut “berpartisipasi” dalam konflik tersebut. Adalah
masuknya Laskar Jihad ke Maluku yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib dengan
10.000 pasukan menyebabkan ketidakseimbangan kekuatan antara kelompok Islam dan
Kristen. Mereka merupakan pasukan yang memang sengaja dibentuk, dipersiapkan
dengan dibekali pelatihan kemiliteran sebelumnya, dilengkapi senjata yang lebih
modern dan memiliki dukungan dana yang kuat. Laskar Jihad menilai bahwa
ketertindasan umat Muslim di Maluku karena ulah dari kaum “salibis” yan tidak
menyukai Islam. Maka terdorong semangat jihad untuk membantu saudara seiman
sebagai jiwa korsa, Laskar Jihad mulai melakukan penyerangan terhadap
kelompok-kelompok Kristen di bawah komando Alex Manuputty melalui FKM (Front
Kedaulatan Maluku) yang memiliki afiliasi dengan RMS. Kondisi konflik berjalan
tidak seimbang terlebih tuduhan afiliasi FKM dengan RMS merupakan gerakan
separatisme memberikan angin besar untuk menekan kelompok Kristen. Kondisi
konflik yang makin beringas dan menjalar ke luar Ambon. Hal ini kemudian
mendorong tokoh-tokoh lintas agama mengadakan pertemuan perdamaian yang
menghasilkan Perjanjian Malino II sebagai konsensus kesepakatan perdamaian di
Maluku.
2.1.3 Upaya dalam mencapai
perdamaian konflik Maluku
Upaya yang dilakukan untuk mencapai perdamaian
konflik Maluku oleh pemerintah antara lain dengan adanya Perjanjian damai
Maluku di Malino (Malino II) serta dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam
negeri Maluku yaitu berupa pela dan gandong.
2.2
Perjanjian Damai
Maluku Malino II
Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara
komunitas Kristen dan Muslim Maluku pada tahun 2002 dengan perjanjian
perdamaian Malino II. Pengelolaan konflik pra Perjanjian Malino II sebagian
bersifat reaktif. Dimana tidak ada strategi maupun perencanaan jangka panjang
baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Alat pengelolaan konflik yang
utama adalah pengiriman bantuan dan keamanan serta mengandalkan pada militer
yang berasal dari luar Maluku. Perjanjian Malino II merupakan sebuah titik
balik yang signifikan yang ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan
pembangunan. Isi dari perjanjian Malino II tersebuat antara lain sebagai
berikut:
a. Mengakhiri
semua bentuk konflik dan perselisihan.
b. Menegakkan
supermasi hukum secara adil dan tidak memihak. Oleh karena itu aparat harus
bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.
c. Menolak
segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.
d. Sebagai
bagian dari NKRI maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di
wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya setempat.
e. Segala
bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjatanya atau dilucuti dan diambil tindakan
tegas sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku wajib
meninggalkan Maluku.
f. Untuk
melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front
Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus dan pengalihan
agama secara paksa.
g. Mengembalikan
pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik.
h. Pemerintah
akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti
fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa
depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan.
Sejalan dengan itu segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan
dikembalikan fungsinya.
i. Dalam
upaya menjaga keamanan dan ketertiban seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan
adanya kekompakkan dan ketegasan untuk TNI/ Polri sesuai fungsi dan tugasnya.
Sejalan dengan itu segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan
dikembalikan fungsinya.
j. Untuk
mejaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan
Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi
undang-undang dan ketentuan lainnya tanpa pemaksaan.
k. Mendukung
rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan
bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka
dengan prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.
Walaupun secara resmi konflik dianggap sudah
berakhir, perdamaian masih rapuh karena akar penyebab konflik masih belum
ditangani dan munculnya keluhan baru. Dominasi Muslim dalam bisnis dan Kristen
dalam pendidikan adalah sebuah masalah yang serius. Malino II meminta
keseimbangan antara dua kelompok ini belum dapat dicapai.
2. Peran
Kearifan Lokal pela dan gandong
Meskipun konflik dinyatakan selesai oleh Pemerintah
Pusat secara sepihak melalui ditandatanganinya Perjanjian Malino II pada tahun 2002-2003.
Namun demikian, konflik-konflik minor sendiri masih sering terjadi dalam
lingkungan masyarakat. Ditengarai ada beberapa oknum tertentu yang
berkepentingan agar Maluku tidak menjadi damai dan secara terus menerus
berkonflik. Konflik-konflik tersebut masih terjadi selang setahun pasca
diterapkannya butir-butir kesepakatan dalam perjanjian tersebut, namun tidak
berkembang dalam konflik komunal seperti pada rentang 1999-2002.
Meskipun konflik meninggalkan memori kelam bagi
masyarakat Maluku, proses perdamaian melalui pembangunan reintegrasi dan kohesi
sosial pasca konflik sosio-keagamaan juga berlangsung cepat dalam level sosio
masyarakat. Dalam hal ini, peranan local genius berupa revitalisasi pela
gandong berperan besar dalam mendamaikan kembali negeri-negeri yang
dulunya tersekat-sekat oleh identitas keagamaan untuk kembali membangun
persaudaraan kembali.
Misalnya saja pemahaman tentang kearifan lokal
tentang makna “kitorang samua basudara” (kita semua adalah bersaudara).
Pemahaman tersebut merujuk pada konstruksi bahwa meskipun masyarakat Maluku
sendiri terbagi menjadi dua komunitas yakni salam (Islam) dan serani (Nasrani)
tetap memiliki satu darah keturunan sama. Revitalisasi konsep tersebut juga
dimaksudkan untuk mengikis liyan (the others) yang selama ini menjadi hambatan
resolusi pedamaian.
Sebelumnya konteks “kitorang-dorang” (kita dan
mereka) mewarnai secara satir gambaran konflik Maluku yang menuntut orang untuk
menjadi entitas kedua bagian kubu tersebut. Proses ke-aku-an dan ke-mereka-an memang
dilandasi atas sentimen agama Islam dan Kristen. Namun lebih dari itu,
bagaimana kita bisa melihat egoisme tersebut menjadi fluid selama proses
reintegrasi perdamaian antar agama di Maluku.
Secara garis besar, filosofi katong
basudara sendiri berfungsi secara dua arah yakni menjembatani adanya
segregasi baik antara komunitas Salam (Islam) maupun komunitas Sarani (Kristen)
dan membangun konsensus perdamaian berdasarkan nilai nilai sosio keagamaan yang
berkembang dalam ranah setempat.
Adapun gerakan revitalisasi kearifan lokal katong
basudara di Maluku sendiri dimulai dengan mendekati tokoh-tokoh
masyarakat berpengaruh di negeri-negeri yang selama ini berkonflik seperti
halnya negeri Siri-Sori (Islam- Kristen), Tamilou (Islam), dan Hutumuri
(Kristen) yang selama ini berkonflik dikarenakan memiliki latar belakang
sejarah yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Namun memiliki ikatan darah
yang sama karena dilahirkan oleh “rahim yang sama” sehingga hubungan antar
negeri tersebut seperti layaknya kakak-adik.
Demikian halnya pula dengan negeri Tulehu (Islam),
Sila (Kristen), Laimu (Islam), Paperu (Kristen), Asilulu (Islam), Tial
(Kristen), dan Hualilu (Kristen) juga memiliki latar belakang berbeda, namun
antar negeri tersebut memiliki hubungan darah. Pembangunan kembali
hubungan pela gandong tersebut dilakukan dengan proses
simbolisasi pela panas.Adapun yang dimaksudkan dengan pela panas
ialah ritual yang dilakukan menurut adat untuk memperkuat kembali relasi-relasi
adat yang selama ini berseteru, namun terikat pada hubungan darah yang sama.
Selain halnya pela gandong untuk memperkuat ikatan perdamaian
di tataran sosio masyarakat, para raja-raja di beberapa negeri yang selama ini
berseteru selama konflik keagamaan berlangsung dipersatukan melalui Forum
Lalupati yang gunanya untuk memperkuat kohesivitas hubungan di antara para
elite tokoh masyarakat supaya mampu mengkondusifkan suasana perdamaian.
Secara lebih lanjut, pela gandong sebagai
bentuk kearifan lokal dalam proses perdamaian di Maluku sebenarnya merupakan upaya
masyarakat untuk kembali merekapitalisasi modal sosial yang terputus selama
konflik berlangsung. Rekapitalisasi berupa pemerkuatan implementasi pela
gandong di level sosio-kemasyarakatan adalah upaya mengikis
identitas-identitas konflik tersebut.
Pasca konflik yang terjadi pada satu dekade silam,
masyarakat Maluku kini telah mengalami nuansa perdamaian dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka tidak terintimidasi lagi terhadap pola penyerangan kelompok
tertentu karena menganggap semua adalah saudara. Pergaulan pun juga telah
terbuka dengan lebar baik antara komunitas Salam (Islam), Sarani (Kristen),
maupun kelompok BBM (Bugis, Buton, dan Makassar) yang dulunya tersekat-sekat
oleh pola grouping berdasar agama dan etnisitas. Meskipun pada 2011 silam,
sempat ada kerusuhan kecil di Ambon, namun skalanya hanya minor dan tidak
menganggu kedamaian yang berada di Maluku maupun Maluku Utara pasca konflik
komunal pada 2002 silam.
Selain halnya, revitalisasi pela gandong sebagai
resolusi konflik dalam merekapitalisasi modal sosial pasca konflik dan
membangun solidaritas masyarakat lintas etnis maupun lintas agama. Representasi
sendiri tidak pelak menjadi bagin integral dalam proses rekonsialiasi
perdamaian tersebut. Dalam hal ini, representasi diartikan sebagai tindakan suatu
individu maupun kolektif untuk mewakili entitas tertentu sebagai media penyalur
aspirasi. Makna representasi juga dimaksudkan juga kesetaraan posisi dalam
relasi masyarakat yang heterogenistik. Bahwa demokrasi sendiri yang acap kali
dimaknai sebagai suara majoritarian sendiri acap kali mengeliminasi suara
minoritas yang selama ini “diasumsikan” mengalah pada paradigma kepentingan
publik (commons interest) tersebut. Maka salah satu ajudikasi yang dilakukan
dalam representasi sebagai resolusi konflik di Maluku adalah perimbangan
komposisi jabatan birokrasi di antara lintas agama maupun etnis.
Dominasi satu agama maupun etnis dalam pengisian
jabatan birokrasi di Maluku merupakan sumber konflik utama di sana. Suksesi
pemerintahan di Maluku memang secara tidak langsung diikuti dengan relasi
dominasi maupun subordinasi dengan mengafilisiasikan diri terhadap kelompok
identitas terentu. Kondisi inilah yang kemudian berkembang menjadi pola
diskriminasi dan marjinalisasi sebagai sumber konflik laten di Maluku yang bisa
puncaknya pada kerusuhan komunal 1999-2002.
Representasi dalam tubuh birokrasi sendiri kemudian
digalakkan pada tahun 2006, Maluku mulai melakukan progam reformasi birokrasi
yang dinamakan SKJ (Standar Kompetensi Jabatan) sebagai basis dasar pola rekrutmen
birokrasi. Adapun pola baru ini mensyaratkan asas proporsionalitas calon
birokrat berdasar ras, suku, pendatang - non pendatang, gender, dan afiliasi
agama sebagai solusi manajemen konflik dalam pemerintahan. Pada awal penerapan
progam Standar Kompetensi Jabatan (SKJ) di lingkungan Pemerintah Kota Ambon
dimulai dari pemilihan sekretaris daerah dan kemudian ke jajaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah lainnya muncul tantangan datang dari masyarakat mengenai unsur
perwakilan mereka terhadap rekruitmen birokrasi yang ada dikarenakan selalu
muncul intrik bahwa birokrat dari etnis Ambon maupun Islam sajalah yang selalu
terpilih. Tantangan itu kemudian dibalas bahwa Standar Kompetensi Jabatan ini
memiliki beberapa konsep antara lain keadilan dan kesempatan yang sama bagi
masyarakat Ambon untuk menjadi birokrat, kesetaraan gender, profesionalisme,
restrukturisasi birokrat old institutionalism. Mengenai permasalahan
restrukturisasi old institutionalism ini juga merupakan latar belakang utama
kemunculan Standar Kompetensi Jabatan.
Adapun yang dimaksudkan dengan old institutionalism
dalam representasi birokrasi ini adalah menghilangan paradigma lama yang
memberikan pengistimewaan terhadap etnis maupun agama tertentu. Selain itu
pula, old institutionalism juga dimaksudkan mengurangi pandangan stereotype
kristenisasi Maluku bahwa mereka terdidik dikarenakan juga afiliasi agama
mereka yakni Kristen dimana masyarakat Kristen lebih moderat dibandingkan Islam
yang radikal dan tidak mau masuk sekolah karena diindikasikan adanya upaya
kristenisasi Maluku sehingga masyarakat Kristen yang terpilih untuk masuk
menjadi birokrat sementara Islam lebih memilih jalur formal. Stereotip itu pula
yang berkembang bahwa lembaga birokrat merupakan lembaga Kristen Hal tersebut
juga ditujukan untuk memberikan kesempatan yang sama terhadap semua agama
maupun etnis untuk bisa berkarir dalam birokrasi di pemerintahan Maluku.
D. Dampak dari Konflik
Maluku
Kerusuhan dan konflik yang terjadi selama beberapa
tahun di Maluku telah memberikan masa lalu yang berat dan mencekam bagi
masyarakat Maluku khususnya. Konflik Maluku telah mengakibatkan banyak kematian
dan penderitaan umat manusia, penghancuran harta benda, pemaksaan pindah agama,
sehingga hal ini dianggap sebagai konflik berskala kejahatan dan pelanggaran
HAM. Kenyataan tersebut menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat bahwa
dendam dan kebencian yang ada akan selalu dimiliki masyarakat Maluku. Sehingga
konflik yang terjadi di Maluku akan berlangsung lama, dan meskipun konflik
telah berakhir tidak menutup kemungkinan apabila konflik Maluku tersebut akan
bisa bangkit kembali. Terdapat dua keadaan setelah adanya perdamaian masyarakat
Maluku akibat Konflik Maluku 1999-2002 yaitu:
1. Terjadi
Proses Disosiatif: Lemahnya Manajemen Pembangunan Sosial
Konflik Maluku yang telah terjadi selama beberapa
tahun itu dapat dipandang sebagai puncak dari proses sosial yang disosiatif
diantara masyarakat Maluku sendiri. Setelah konflik selesai dan timbul
kesadaran dari orang Maluku, bukan berarti tidak mungkin diantara masyarakat
Maluku tidak akan ada konflik lagi. Hal ini karena setelah adanya Perjanjian
Malino II di antara orang Maluku terjadi kembali konflik diantaranya, seperti:
konflik yang melibatkan negeri lain, yaitu konflik yang menyangkut batas tanah
petuanan yang terjadi antara negeri Tial, negeri Tulehu, dan negeri
Tengah-tengah dan antara negeri waai, negeri Liang. Konflik antar masyarakat
negeri Tial, negeri Tulehu dan negeri Tengah-tengah masih belum terselesaikan
melalui prosedur hukum, akan tetapi konflik antara negeri Waai dengan negeri
Liang sudah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan
tetapi penyelesaian melalui hukum belum dapat menjamin terselesaikannya masalah
yang menyangkut interaksi sosial antar masyarakat.
2. Terjadi
Peoses Asosiatif: Peran Bangsa Maluku Dalam Upaya Perdamaian Yang Berkelanjutan
Menurut Samuel dalam “ membongkar konspirasi
dibalik konflik Maluku” menyebutkan bahwa setelah disepakatinya perjanjian
damai Malino II, dikalangan tokoh-tokoh agama Maluku terdapat berbagai upaya
dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Seperti yang di lihatnya
sewaktu penelitian, misalnya dengan berpelukan yang akrab juga senang hati
diantara tokoh pemuka agama, lalu juga dalam percakapan-percakapan diantara.
Hal itu membuktikan bahwa telah terjadi hubungan persahabatan dan perdamaian
diantara orang Maluku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Maluku pada tahun 1999
sampai 2002 pada dasarnya merupakan rangkaian konflik yang berakar dari adanya
ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik
kolonial maupun pemerinta Indonesia merdeka sendiri.
Konflik Maluku pada dasarnya lebih mengarah pada permasalahan perebutan
sumber daya politik, ekonomi dan birokrasi. Akan tetapi dalam prosesnya
menyeret isu agama sehingga hal ini mampu menghimpun kekuatan massa yang besar
dan menyebabkan konflik ini berlangsung berkepanjangan.
Konflik Maluku berhasil diselesaikan dengan adanya
Perjanjian Malino II sebagai konsensus kesepakatan perdamaian masyarakat
Maluku.Namun demikian potensi konflik di akar masyarakat dapat dikurangi
melalui nilai-nilai kearifan lokal.
Konflik di Maluku pada tahun 1999 telah menyebabkan
banyak penderitaa bagi masyarakat Maluku sendiri serta hal ini tetu juga bisa
mengancam kedaualatan bangsa Indonesia apabila rakyatnya tidak bisa bersatu.
B. Saran
Sangat penting bagi masyarakat Maluku sekarang
untuk tetap melestarikan kearifan lokal seperti budaya pela agar hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan tetap bertahan. Selain itu untuk menambah
khasanah ataupun keefektifan hukum nasional perlu sekiranya ditambahkan hukum
adat lokal untuk menyelesaikan permasalahan lokal yang terjadi. Dan juga kita
pun harus bisa belajar sejarah dan memahami segala sesuatu yang telah terjadi
agar kita lebih bijaksana dalam mengahadapi keadaan dan permasalahan yang
terjadi saat ini.
Daftar Pustaka
Waileruny, Semuel. 2010. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik
Maluku. Jakarta: Obor.
Makalah Kerusuhan Komunal di Provinsi Maluku Oleh RZ. Leirissa.
Jurnal: Walisongo, Volume 21, Nomor 2, November 2013. Kearifan
Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan : Wasisto Raharjo Jati.
Comments
Post a Comment