Skip to main content

TANGGUNG JAWAB MAHASISWA


Secara konvensional dapat disebut mahasiswa adalah merupakan generasi muda yang belajar dan beraktifitas di Perguruan Tinggi. Penegasan bahwa mahasiswa merupakan orang-orang yang belajar di Perguruan Tinggi jelas menempatkan posisi mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Perguruan Tinggi, yang merupakan tempat segala bentuk ilmu diproduksi. Makanya kita juga sering mendengar mahasiswa disebut sebagai masyarakat ilmiah; masyakat ilmu pengetahuan; masyarakat intelektual dan lain sebagainya.
Sebagai bagian dari masyarakat ilmu pengetahuan tentu sejatinya tugas utama mahasiswa adalah belajar dan merangkai ilmu sesuai dengan tujuan ilmu untuk menjadi “rahmat” bagi kehidupan. Sebab, tidak ada yang membantah bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan lah kehidupan ini dapat dijalankan secara maksimal. Begitu juga besar pengharapan masyarakat ke kampus-kampus untuk mendidik anak-anak mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan, yang diharapkan mampu melakukan perbaikan dalam kehidupan ini dan menaikan status sosial keluarga.
Selain itu, menarik untuk dikemukan selain tugas utama mahasiswa adalah belajar juga harus diakui bahwa mahasiswa juga merupakan bagian dari warganegara bangsa ini yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara lainnya, yaitu hak untuk berbicara, hak untuk mendapatkan keadilan dan tentu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Adanya kesadaran bahwa mahasiswa selain sebagai pelajar dan sekaligus bagian dari warganegara inilah diharapkan sikap ideal dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya mahasiswa.

Tugas dan Tanggung Jawab
Mahasiswa sebagai masyarakat intelektual dan sekaligus sebagai warganegara tentu saja memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Sebab, idealnya mahasiswa dituntut bukan hanya untuk cerdas dalam belajar, tetapi lebih dari pada itu juga harus kritis terhadap kenyataan sosial yang ada. Kenyataan inilah, makanya mahasiswa disebut sebagai agent of change meminjam istilah Auguste Comte atau agent of modernization dalam istilah lain Ali Syariati. Sebab, secara regeneratif segala bentuk kenyataan yang ada hari ini pasti diwariskan kepada mahasiswa yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai penggagas ide bagi kemajuan kehidupan sosial dan berbangsa.
Sejarah juga mencatat bahwa peran mahasiswa juga sangat besar dalam proses reformasi kehidupan berbangsa. Untuk menyebut misalnya beberapa peristiwa penting reformasi negara-negara juga diperankan oleh mahasiwa, di antaranya seperti Juan Peron di Argentina tahun 1955; Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958; Soekarno di Indonesia tahun 1966; Ayub Khan di Paksitan tahun 1969; Reza Pahlevi di Iran tahun 1979; Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987; Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985 dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. 
Tentu saja kita harus jujur mempertanyakan, mampukan mahasiswa-mahasiswa hari ini untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya itu, terutama ketika pragmatisme dan materialisme merasuki dunia kampus yang membuahkan sikap anarkisme? Tampaknya kenyataan menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir ini, terutama ketika pasca reformasi tugas dan tanggung jawab ini seakan terabaikan mahasiswa. Sebab, harus kita sesalkan bahwa media masa, baik cetak atupun elektronik hanya melaporkan sikap anarkisme yang diiklan para mahasiswa, yang justeru terkesan mengotori semangat reformasi yang digaungkan.
Kenyataan ini tentu tidak dapat kita pungkiri bahwa bukan hanya secara projetatif media masa menyebutkan adanya anarkisme itu di kalangan mahasiswa, tetapi kenyataan menunjukkan kepada kita justeru hampir setiap kampus kita menyaksikan itu bahwa itu benar-benar ada. Hal ini adalah sesuatu yang sangat kontradiktif dengan tugas utama mahasiswa sebagai masyarakat kampus, yang seharusnya tugasnya belajar untuk menjadi calon-calon ilmuan. Namun, justeru lebih banyak mengabiskan waktunya hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan keilmuan yang diajarkan di Perguruan Tinggi. 
Tampaknya, kita harus menegaskan kembali tugas primer mahasiswa meminjam istilah Arief Budiman bahwa “mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat Perguruan Tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana. Itulah yang pertama dan utama tugas bagi para mahasiswa. Bahwa dia juga aktif sebagai aktifis atau senang pada kesenian, itu adalah fungsi sekundernya. Demikian juga bila dia senang pada persoalan-persoalan politik, itu adalah fungsi sekundernya, yang pertama dan yang utama tugasnya ialah mempersiapkan diri untuk suatu keahlian tertentu”. 
Berdasarkan kenyataan ini, tentu saja semua kita akan sepakat apa yang disebut Arief Budiman bahwa tugas utama mahasiswa adalah belajar. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dari tugas primer menjadi tugas skunder dan sebaliknya tugas skunder menjadi primer. Atau dalam kenyataan lain kita juga menyaksikan justeru adanya kesan over fuction mahasiswa menjadi agen-agen kepentingan tertentu sehingga mengabaikan tugas primernya untuk belajar. 
Pada dasarnya, tidak diragukan lagi bahwa tanggung jawab terhadap kenyataan kehidupan itu juga merupakan bagian dari tanggung jawab mahasiswa untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bangsa ini. Tampaknya, beberapa gejolak yang terjadi di kampus—secara positif dapat dikatakan—hal itu juga merupakan bagian dari ungkapan dari tanggung jawab mahasiswa terhadap bangsa ini.  Namun, gejolak itu tentu saja idealnya tanpa harus dimuati anarkisme. Sebab, anarkisme bukanlah dari jati diri mahasiswa yang sesungguhnya dan justeru kita melihat adanya kesan “tumpangan” politik pihak-pihak tertentu di dalamnya, yang terkadang disadari atau tidak oleh mahasiswa dijadikan sebagai alat pressure group (group penekan) untu memuluskan kepentingan tertentu.
Idealnya tentu saja menurut Jusuf A Feisal adalah bahwa mahasiswa dalam konteks tanggung jawab ini minimal harus mampu menuntut dan membantu mahasiswa dalam usaha memenuhi hal-hal: a) pengembangan pemikiran dan penalaran mahasiswa (structured ideas and reasoning); b) minat dan kegemaran mahasiswa (student interest); dan c) kesejahteraan mahasiswa (student walfare).  Karena memang ketiga hal ini seharusnya menjadi fokus utama mahasiswa sebagai penunjang setiap aktifitas yang dilakukan, baik itu dalam proses pemenuhan tugas ataupun tanggung jawabnya.
Untuk itu, sejatinya mahasiswa harus menjadi insan-insan yang visioner,  yaitu manusia yang berwawasan ke depan, yang berani bermimpi untuk membentangkan cita-cita yang luhur sejalan dengan semangat keilmuan yang diterimanya di kampus. Bagi orang yang visioner mimpi menjadi energi dahsyat untuk menggerakkannya menjadi kondisi luar biasa yang sesuai dengan mimpinya. Sebab itu, visioner juga artinya tidak bergantung kepada orang lain, yaitu mandiri dalam berpikir dan mandiri dalam bertindak, itu semua dibentuk di dalam kampus dan tentu saja berakhlak luhur merupakan inti dari semua itu.

Seorang mahasiswa di kelas conversation saya berpendapat bahwa seorang mahasiswa tidak seharusnya ikut berdemonstrasi atau terlalu ikut campur dalam kegiatan politik atau kenegaraan. Ini dikarenakan seorang mahasiswa adalah seorang pelajar, yang tugas utamanya adalah ‘belajar’ bukannya berdemonstrasi.
Pada saat saya mendengar pendapat ini, saya cukup terhenyak dan terkejut, karena ada mahasiswa yang memiliki pemikiran semacam ini. Selidik demi selidik, saya memahami pendapat ini yang keluar dari seorang mahasiswa yang merasa ‘muak’ oleh perilaku demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia yang merujuk ke arah anarkhis dan jauh dari kesan’intelek’.
Namun begitu, apakah bisa dikatakan bahwa semenjak beragam kejadian dan pengalaman yang tidak begitu mengenakkan ini otomatis tugas utama mahasiswa adalah semata-mata belajar dan mengacuhkan demonstrasi atau jenis penyampaian argumentasi dan pendapat lainnya?
Mari kita cek sedikit mengenai kata ‘mahasiswa’ ini.
Secara makna dan etimologi kata, ada banyak persamaan antara istilah murid, pelajar dan siswaatau mahasiswa.
Kata murid berasal dari serapan bahasa Arab yaitu  ‘araada, yuriidu, muriidan’ yang maknanya kurang lebih ‘memiliki keinginan, berkehendak, dan mempunyai minat’. Secara makna, kurang lebih bisa diartikan bahwa murid berarti seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk mengetahui sesuatu. Untuk itu, seorang murid harus memiliki keaktifan, inisiatif dan minat untuk mendapatkan sesuatu. Kata pelajar meskipun memiliki arti yang lebih umum, yaitu seseorang yang menerima pengajaran, istilah pelajar sebenarnya lebih digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat dasar maupun pendidikan formal tingkat menengah (SMP dan SMA).
Kemudian, dibedakan pula istilah siswa danmahasiswa. Siswa sendiri diduga berasal dari bahasa Jawa wasis yang diotak-atik dengan menggunakan proses ‘pembalikan’ dalam sistem bahasa jawa menjadi ‘siswa’, dimana kata wasisberarti ‘pintar’, atau ‘pandai’. Jadi sebenarnya kata ‘siswa’ dan murid memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu ‘orang yang ingin mendapatkan sesuatu atau ingin menjadi pandai dengan keinginan dan kehendak yang besar’.
Sedangkan pada kata ‘mahasiswa’, terdapat penambahan sebuah kata sifat (adjective) mahayang berasal dari kata Sansekerta yaitu मह (maha) yang berarti besar, kuat, agung atau berlimpah(mighty, great, strong, abundant). Kata ‘maha’ dalam bahasa Sansekerta biasanya dijadikan sebuah prefix atau awalan seperti pada kata ‘mahaguru’ atau ‘maharishi’. Maka kemudian ketika kata maha digabungkan dengan kata siswaakan menjadi mahasiswa yang kurang lebih berarti ‘siswa atau murid yang tinggi atau besar’ dimana kata ini merujuk pada para siswa yang berada di tingkatan perkuliahan perguruan tinggi. Ini adalah salah satu hal yang membedakanmahasiswa dan pelajar. Namun, ada pula perbedaan mendasar antara pelajar danmahasiswa dari tataran tanggung jawab.
 Seorang pelajar, seperti maknanya, adalah untuk konsentrasi pada penerimaan ajaran dan dengan semangat untuk mencari ilmu dengan giat. Sedangkan dalam dunia perguruan tinggi, dikenal dengan sebuah visi, misi, dan ‘tanggung jawab’ seluruh elemen yang ada di dalam perguruan tinggi, baik mahasiswa maupun dosen atau pengajar yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri dharma juga menjadi acuan seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta, kedinasan maupun bukan. Tri Dharma Perguruan Tinggi juga berlaku bagi dosen atau pengajar perguruan tinggi, serta mahasiswa seluruh tingkatan, baik Akademi (Amd), Strata 1 (S1), Strata 2 (S2) atau Strata 3 (S3).

Berikut adalah tinjauan mengenai isi Tri Dharma Perguruan Tinggi:
1.   Pendidikan dan Pengajaran.
Pendidikan dan Pengajaran adalah pilar utama dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, dimana mahasiswa dituntut untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi bibit penerus bangsa yang akan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan terarah. Pendidikan yang diperoleh pun kemudian harus bersifat transfer of knowledge, yaitu meneruskan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Mahasiswa memang dituntut untuk belajar namun juga memiliki kewajiban untuk meneruskannya, baik untuk kemudian menjadi pengajar maupun secara umum ‘mengajar’ orang lain dengan ilmu pengetahuan yang mahasiswa telah miliki.
2.   Penelitian dan Pengembangan
Ilmu dan teknologi yang didapatkan mahasiswaharuslah dikembangkan dan diterapkan. Penelitian juga harus dilaksanakan, karena bila tanpa penelitian, sistem pendidikan akan terhambat. Itulah sebabnya mahasiswa akan sering mendapatkan kesulitan dalam perkuliahan, bukan karena faktor dosen atau pengajar, bukan karena faktor fasilitas, namun karena mahasiswa kurang memiliki ‘rasa’ meneliti yang kuat. Tanggung jawab dan keinginan untuk meneliti (tentu saja dengan cara dan sistem yang sesuai dan telah disetujui secara ilmiah). Mahasiswa dituntut untuk ‘peka’ terhadap beragam gejala dan fenomena ilmu pengetahuan untuk diuji dan dibuktikan. Inilah perbedaan yang mendasar antara pelajar dan mahasiswa. Kadangkala, mahasiswa kembali dituntut untuk ‘tidak sekedar menerima’ ilmu, namun juga mengujinya.
3.   Pengabdian Masyarakat
Sedangkan pada poin yang terakhir, yaitu Pengabdian Masyarakat, mahasiswa dituntut untuk memberikan konstribusi kepada masyarakat. Konstribusi ini harus bersifat konkret atau nyata demi terselenggaranya penerapan ilmu pengetahuan yang didapatkan. Mahasiswa tidak boleh egois dan acuh terhadapa masyarakat, karena ilmu yang didapatkan, apapun bentuk dan jenisnya, apapun fakultasnya, harus digunakan untuk kebaikan masyarakat secara umum. Dari sini kita pun dapat memahami, bahwasanya ‘demonstrasi’ sebenarnya bukanlah sesuatu yang ‘haram’ sebaliknya adalah hal yang sangat wajar dalam dunia demokrasi dan pendidikan modern. Dalam beberapa kasus, demonstrasi dan pergerakan mahasiswa adalah sebuah keharusan, sebagai bentuk dari pengabdian masyarakat.
 Jadi bila mahasiswa tidak ‘peka’ terhadap gejala sosial, fenomena politik dan ekonomi, mahasiswa tersebut tidak melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi visi dan misi nya. Mahasiswa yang semata-mata belajar tanpa melakukan penelitian dan atau pengabdian pada masyarakat hanya melaksanakan poin pertama, dan tidak mampu membedakan perguruan tinggi dan lembaga ketrampilan atau kursus, dimana memang tujuannya semata-mata untuk kepentingan skill atau applied science yang kelak digunakan untuk mendapatkan pekerjaan atau diaplikasikan untuk ‘bekerja’ di dunia nyata.
Seharusnya seorang mahasiswa sadar bila ia memutuskan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, ia terikat pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukannya sekedar memperoleh ilmu yang digunakan untuk ‘kepentingan pribadi’ seperti pada lembaga ketrampilan namun juga tanggung jawab dibaliknya.
Lalu, apakah demostrasi adalah ‘wajib’ hukumnya bagi mahasiswa. Apakah tindakan mahasiswa yang berdemonstrasi secara anarkhis dibenarkan? Tentu saja jawabannya tidak sesederhana tidak atau ya. Ini karena mahasiswa berdemo adalah bentuk dari pengabdian masyarakat dimana para mahasiswa dari fakultas tertentu, misalnya saja politik dan sosial, merasa peka dan melihat permasalahan yang terjadi di negara. Sesuai dengan bidang ilmu yang mereka kuasai, mereka melakukan demonstrasi. Tentu saja beragam fakultas dan beragam mahasiswa akan melakukan pengabdian masyarakat yang bersifat nyata secara berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keilmuwannya. Sedangkan permasalahan demonstrasi yang bersifat anarkhis, ini terjadi oleh beragam faktor. Selain elemen negatif dari mahasiswa sebagai pemuda pemudi yang masih memiliki emosi yang meledak-ledak, sampai alasan ditunggangi oleh kelompok tertentu, atau kebebalan pemerintah dapat dijadikan alasan.
Anarkhisme atau kericuhan demonstrasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beragam belahan dunia, demonstrasi ricuh kerap terjadi dengan beragam alasan di atas. Misalnya saja pada tahun 2012, 10.000 mahasiswa berdemo di kota London Inggris menuntut kebijakan pendidikan di Inggris. Mahasiswa menyerbu gedung-gedung pemerintahan, melempari telur, merusak pagar. Ini juga terjadi di Ankara, Turki, atau Spanyol, atau Yunani, sepanjang tahun 2012 dan 2013. Bukannya tanpa alasan atau sekedar pembenaran tindakan anarkhis mahasiswa, namun tindakan mahasiswa dalam berdemo juga harus dilihat secara arif dan bijak, terutama oleh mahasiswa lainnya yang tidak berdemo, bukannya sekedar menyalahkan dan ‘mengekang’ mahasiswa pada tanggung jawab mereka untuk hanya belajar.
Bahkan bila melihat sejarah bangsa ini, mahasiswa lah yang ‘memaksa’ Soekarno untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.Mahasiswa pun lah yang berdemo menurunkan Soekarno atau Soeharto menuntut pemerintahan yang lebih baik. Apapun kontroversinya, mahasiswa harus selalu peka dan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tentu saja ini tidak bisa dibenarkan ketika mahasiswa terlibat kegiatan seks bebas atau menyimpang, moralitas yang buruk, penggunaan narkotika dan hal-hal buruk lainnya.
Tulisan ini pada akhirnya hanya bersifat filosofis, dimana jawaban ya dan tidak benar-benar dilihat melalui banyak pemikiran mendalam. Tidak ada bentuk mempersalahkan, namun sebaliknya mencari alasan dan pemahaman dibalik perilaku mahasiswa baik yang cuek ataupun yang peka untuk kemudian dipaparkan.
Semoga mahasiswa saya mau memahami bahwa menjadi mahasiswa adalah seperti menjadi ‘pria’ dari seorang ‘anak laki-laki’, dari seorang pelajarke mahasiswa. Dimana pembelajaran dan pemberian ilmu pengetahuan harus disertai dengan tanggung jawab. Selamat menjadi mahasiswa


Penutup

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semua orang memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Seorang suami harus bertanggung jawab menafkahkan dan menghidupi keluarganya, seorang guru bertanggung jawab mengajarkan pendidikan kepada muridnya, dan kemudian bagaimana tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa? Tentu saja mahasiswa mempunyai tanggung jawab, salah satunya yang paling umum adalah belajar. Namun belajar untuk apa? Untuk cepat lulus? Untuk mendapatkan pekerjaan? Tidak hanya itu, mahasiswa harus belajar untuk mengembangkan pribadinya agar menjadi pribadi yang lebih baik di masa depannya. Mahasiswa juga harus bisa belajar mandiri karena suatu hari nanti kelak mereka tidak tinggal bersama orang tua mereka lagi dan harus mengatur hidupnya sendiri. Biaya kuliah itu tidak murah alias mahal. Banyak sekali mahasiswa yang malas kuliah, bolos, tidak serius, dan lain-lain. Jika yang bayar kuliah mahasiswa itu sendiri ya mungkin tidak masalah, terserah orang itu mau melakukan apa. Tapi jika mahasiswa itu dibiayai oleh orang tua atau orang lain dan masih malas-malasan, apakah itu tidak buang-buang uang. Selain itu juga buang-buang waktu. Ada rasa tanggung jawab dimana harus membalasnya dengan belajar yang rajin, niat kuliah, lulus tepat waktu, semaksimal mungkin untuk mendapat IP yang tinggi. Sehingga uang yang dibayarkan untuk kuliah itu tidak sia-sia malah menjadi sangat bermanfaat. Seiring dengan berjalannya waktu, ujian hidup semakin besar namun tanggung jawab juga akan menjadi semakin besar. 
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tugas primer mahasiswa adalah belajar secara serius dengan mentotalkan diri. Hal ini berkaitan khusus dengan entitas mahasiswa yang merupakan calon-calon ilmuan, yaitu orang-orang yang bekerja dengan ilmu. Sedangkan tanggung jawab mahasiswa sebagai bagian dari bangsa ini, tentu saja harus berperan aktif dalam menyuarakan kepentingan kehidupan berbangsa, terutama lagi bagi perbaikan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Comments

Popular posts from this blog

Wawancara Bersama Bidan Profesi Mulia

Hallooo.. hi mau posting wawancara aku , febthy dengan bu bidan di salah satu tempat di kota jambi , khususnya didaerah kotabaru. wawancara ini dilakukan saat aku masih kelas 11 SMA di SMAN6 Kota Jambi sebagai Tugas. Kami mencari informasi Pandangan Hidup ibu RR.Tatiek yang sekarang menjadi bidan, bagaimana kisahi bu tersebut hingga menjadi seorang bidan yang melayani masyarakat? yukk baca wawancara kita guys. semoga bermanfaat.... TEMA                             : BIDAN SEBAGAI PANDANGAN HIDUP PEWAWANCARA         : -           INAYAH NOVELIA RIZKI -           FEBTHY DWI AULIA NARASUMBER             : BIDAN RR.TATIEK S. Inayah          : Selamat Siang buk Bidan            :  Ya.. Siang. Inayah          :  Permisi buk maaf mengganggu sebentar, bolehkah saya berbincang sebentar? Bidan            :  Iya boleh, ada apa ya ? Inayah          :  Perkenalkan kami siswi dari SMAN 6 saya Inayah Novelia Rizki Febthy          : Dan saya Febthy Dw

BUDAYA TARIAN MELAYU INDONESIA

TARI ZAPIN MELAYU Halloo , aku balik lagi nihh hihihi (so happy) Indonesia sangat beragam macam adat,istiadat dan kebudayaan , salah satunya TARI TRADISONAL adalah salah satu kebudayaan yang ada dlam suatu daerah di DUNIAA. Tarian sudah ditemukan sejak lampau (scroll this out)  Tari zaman prasejarah / zaman primitive Zaman primitif adalah zaman prasejarah yaitu zaman sebelum munculnya kerajaan sehingga belum mempunyai pemimpin secara formal. Zaman primitif ini berkisar anatara tahun 20.000 SM – 400 M. Pada zaman masyarakat primitive ada 2 zaman yaitu zaman batu dan zaman logam. Pada zaman batu kemungkinan tari – tarian hanya diiringi dengan sorak – sorai serta tepukan tangan. Sedangkan pada zaman logam sudah terdapat peninggalan instrument music yang ada sangkut pautnya dengan tari yaitu nekara atau kendang yang dibuat perunggu. Diantara lukisan – lukisan yang menghias nekara itu ada lukisan yang menggambarkan penari yang pada kepalanya dihias bulu – bulu burung

SISTEM PEMERINTAHAN AFRIKA SELATAN

SISTEM PEMERINTAHAN AFRIKA SELATAN Afrika selatan menerapkan sistem politik demokrasi anti-apartheid. Bentuk negara Afrika Selatan adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan republik. Sistem pemerintahan di Afrika Selatan adalah presidensial. Parlemen di Afrika Selatan terdiri dari dua bagian, yaitu majelis nasional dan dewan nasional provinsi. Setiap Provinsi di Afrika Selatan mempunyai satu penggubal undang-undang negeri dan Majelis Eksekutif yang diketuai oleh seorang Perdana Menteri atau “Premier”. 1.     KEDUDUKAN PRESIDEN/RAJA/KAISAR Presiden Afrika Selatan memegang dua jabatan yaitu sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Ia dipilih sewaktu Majelis Nasional ( National Assembly ) dan Majelis Provinsi-provinsi Nasional ( National Council of Provinces ) bergabung. Lazimnya, Presiden adalah pemimpin partai mayoritas di Parlemen. National Assembly mempunyai 400 anggota yang dipilih melalui pemilu secara perwakilan proporsional. National Council of Provinces